Optimalisasi Pelaksanaan Fungsi Pelayanan dan Pengawasan Keimigrasian di Pos Lintas Batas

Registrasi / Login Untuk Membaca ...
Secara umum pelaksanaan fungsi pelayanan dan pengawasan keimigrasian di PLBI dan atau PLBT dinilai telah berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam konteks pelayanan, para petugas di PLB telah memberikan pelayanan terhadap para pelintas dengan cukup baik. Pada sisi yang lain, pelaksanaan fungsi pengawasan juga telah berjalan meskipun menghadapi sejumlah keterbatasan. Adapun faktor yang dinilai mendukung optimalisasi fungsi pelayanan dan pengawasan keimigrasian di PLB adalah variabel Komunikasi. Variabel ini terlihat paling dominan daripada variabel-variabel yang lain, karena dalam implementasinya para petugas atau pelaksana imigrasi di perbatasan telah melakukan proses komunikasi dengan efektif yang dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu transmisi, kejelasan dan konsistensi. Selain itu, komunikasi tidak hanya kepada petugas imigrasi saja, tetapi juga kepada para pemangku kepentingan lain, sehingga ketika ditemukan suatu kendala, maka dapat diselesaikan dengan baik. Pada hambatan internal ditemukan sejumlah hal, pertama, keterbatasan jumlah sumber daya manusia. Dari segi kuantitas jumlah sumber daya manusia ASN Imigrasi di PLBT/PLBN masih belum memadai. Sementara itu, dari segi kualitas, ketiadaan Pejabat Imigrasi menyebabkan sumber daya kewenangan yang dimiliki cenderung lemah. Persoalan ketersediaan sumber daya manusia Imigrasi merupakan persoalan klasik ditambah lagi kencenderungan ASN Imigrasi berkeberatan ditempatkan di perbatasan; kedua, keterbatasan sarana-prasarana internal khususnya di PLBT seperti perangkat kesisteman Imigrasi meliputi SIMKIM dan BCM; ketiga, keterbatasan anggaran operasional di PLBT/PLBN; dan keempat, keterbatasan sumber daya kewenangan akibat ketiadaan Pejabat Imigrasi. Pada hambatan eksternal ditemukan sejumlah hal, pertama, keberadaan fragmentasi dan “intrusi” kewenangan keimigrasian oleh pemangku kepentingan lain; kedua, keberadaan ego sektoral masing-masing pemangku kepentingan; ketiga, terbatasnya ketersediaan sumber daya primer di PLBT (infrastruktur jalan dan jembatan, bangunan fisik gedung, jaringan air dan sanitasi, jaringan listrik dan jaringan telekomunikasi dan internet) yang seharusnya dapat disediakan oleh BPPD dan Pemda; keempat, banyaknya BCA antara Indonesia dengan negara tetangga perbatasan yang sudah tidak relevan dan belum selesainya kesepakatan bilateral soal exit - entry points; kelima, potensi peningkatan volume perlintasan orang yang tidak diimbangi oleh ketersediaan sumber daya keimigrasian yang memadai; keenam, banyaknya jalur perlintasan tidak resmi (tradisional) yang secara signifikan mempersulit upaya pengawasan keimigrasian secara efektif; ketujuh, sulitnya akses jalan dan transportasi dari dan menuju PLBT; kedelapan, ancaman kerawanan wilayah terhadap praktik tindak kejahatan khas perbatasan; dan kesembilan, tingkat kepatuhan (compliance) masyarakat terhadap hukum positif yang ada dihubungkan dengan aspek budaya dan kekerabatan masyarakat perbatasan.