Perkawinan Masyarakat Gelahang di Bali

Registrasi / Login Untuk Membaca ...
Dalam masyarakat adat di Bali, perkawinan tidak hanya dipandang sebagai suatu perbuatan hukum yang bersifat duniawi (sekala) belaka, melainkan juga berkaitan dengan kehidupan dunia gaib (niskala) sehingga sangat disakralkan (suci). Konsep perkawinan sebagai perbuatan hukum yang bersifat sekala-niskala umumnya dirumuskan dengan jelas dalam awig-awig desa pakraman, khususnya dalam pasal (pawos) yang secara khusus membahas prihal perkawinan (indik pawiwahan). Dasar relegius dalam suatu perkawinan diharapkan dapat mengokohkan lembaga perkawinan itu sendiri sehingga tujuan perkawinan dapat dicapai. Istilah "kekal" dapat dimaknai bahwa perkawinan diharapkan hanya terjadi sekali dalam hidup ini sehingga diharapkan perkawinan tidak putus di tengah jalan karena perceraian. Keluarga "bahagia" diakui merupakan rumusan yang masih abstrak dan relatif, sebab ukuran yang dipakai oleh masing-masing orang bisa berbeda. Tetapi karena masyarakat Bali adalah masyarakat yang relegius, tentu ukuran standar yang bisa digunakan adalah keluarga ideal menurut ajaran agama dan kepercayaan yang dianut. Menurut kepercayaan umat Hindu di Bali, adanya keturunan yang lahir dari perkawinan sangatlah penting sehingga dapat dikatakan menjadi salah satu tujuan penting dari perkawinan. Bentuk perkawinan pada gelahang memang belum lazim dikenal dalam masyarakat adat Bali atau umat Hindu. Walaupun demikian, dalam kenyataannya sejumlah keluarga telah melangsungkan perkawinan pada gelahang. Masyarakat adat di Bali, disamping diatur oleh hukum Negara (hukum pidana), juga diatur pula oleh hukum lokal (hukum pidana adat Bali).  Sulit memahami keberadaan hukum keluarga bagi masyarakat adat Bali atau umat Hindu di Bali, tanpa memahami sistem kekeluargaan bagi umat Hindu di Bali. Demikian pula halnya kalau ingin memahami perkawinan tata cara pelaksanaan dan bentuk perkawinannya. Dalam masyarakat adat Bali, perkawinan dikenal dengan beberapa istilah seperti pawiwahan, nganten, makerab kambe, pewarangan, dll. Perkataan "kawin" sendiri dalam bahasa sehari-hari disebut nganten dan makerab kambe, yang hakikatnya sama dengan perkawinan sebagaimana diatur dalam undang-undang perkawinan. Perkawinan pada gelahang yang menjadi objek penelitian ini, bukan cara melangsungkan perkawinan, melainkan termasuk salah satu bentuk perkawinan yang relatif jarang dilaksanakan di Bali, karena bentuk perkawinan ini hanya dilaksanakan manakala calon pasangan suami istri tidak mungkin melangsungkan perkawinan biasa atau perkawinan nyentana. Penelitian terhadap sejumlah keluarga yang melangsungkan perkawinan pada gelahang, dapat diketahui bahwa belum sepenuhnya warga masyarakat di Bali memahami perbedaan antara perkawinan yang dilangsungkan dengan cara memadik, bentuk perkawinan nyentana dan bentuk perkawinan pada gelahang. Beberapa informan yang ditemui menganggap bahwa perkawinan yang dilangsungkan dengan cara meminang (memadik) dianggap sama dengan perkawinan pada gelahang. Hal ini didasarkan atas kenyataan perkawinan itu dilangsungkan secara baik-baik dengan semangat duwenang sareng atau pada gelahang yang secara harfiah berarti "milik bersama". Sejatinya tidak demikian adanya. Memadik (meminang) menunjuk kepada salah satu cara melangsungkan perkawinan menurut hukum adat Bali di samping cara ngerorod (lari bersama), sedangkan perkawinan nyentana dan perkawinan pada gelahang menunjuk kepada bentuk perkawinan. Ketidaksamaan pemahaman ini menyebabkan beberapa kali peneliti merasa "rugi" (kaceluag) dalam menelusuri objek penelitian. Maksud hati menemui pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pada gelahang, ternyata yang ditemui pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan biasa yang dilaksanakan dengan cara meminang (memadik), seperti yang dialami beberapa kali oleh teman kami I Ketut Widia di Kabupaten Buleleng, Jemberana dan Tabanan. Pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pada gelahang, pada umumnya berjalan sesuai dengan kesepakatan keluarga, baik kesepakatan lisan maupun tertulis. Tidak semua pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pada gelahang, bersedia mengemukakan keadaan sesungguhnya dari perkawinan yang mereka pernah langsungkan. Perkawinan pada gelahang hampir sama denganbentuk perkawinan biasa atau bentuk perkawinan nyentana. Perbedaannya antara lain terletak pada adanya kesepakatan kedua mempelai dan keluarganya sebelum perkawinan dilangsungkan, pelaksanaan upacara mapejati dan adminsitrasi perkawinan. Belum ada kesamaan format akte perkawinan bagi pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pada gelahang. Apa pun bentuk dan substansi pasikian pasubayan (kesepakatan bersama) yang berhasil dirumuskan, hendaknya hal itu jangan sampai mengurangi arti dan makna perkawinan pada gelahang yang selama ini telah terbangun atau jangan sampai mengganggu kerukunan rumah tangga bagi pasangan suami istri yang telanjur melangsungkan perkawian pada gelahang sesuai dengan kesepakatan diantara pasangan pengantin dan keluarganya, perlunya segera diadakan penelitian lanjutan yang lebih mendalam (explanatory research) untuk menumbuhkan landasan filosofis dan yuridis bagi pelaksanaan perkawinan pada gelahang di Bali.